PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 1997
TENTANG
PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dipandang perlu mengatur pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT.
Pasal 1
Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan badan hukum tertentu adalah badan hukum yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan yang kegiatannya semata-mata tidak mencari keuntungan.
Pasal 3
Besarnya bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat yang diterima oleh :
- orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, dikenakan sebesar 0% (nol persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang;
- orang pribadi selain dimaksud pada huruf a, dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang;
- badan hukum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang.
Pasal 4
Saat yang menentukan bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
Pasal 5
(1) | Nilai Perolehan Objek Pajak hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh karena hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya peralihan hak tersebut. |
(2) | Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang digunakan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. |
Pasal 6
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran peralihan hak setelah Wajib Pajak menyerahkan salinan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai tata cara pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 78
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 1997
TENTANG
PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT
UMUM
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan disebutkan bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat merupakan objek pajak. Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Di samping orang pribadi, penerima hibah pada umumnya juga berupa badan hukum tertentu yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.
Oleh karena pemberian dengan melalui hibah wasiat merupakan penghargaan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 pengertian Bea atas Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dikatakan pula sebagai pajak. Oleh karenanya dalam Peraturan Pemerintah ini kedua sebutan tersebut digunakan. Sebutan Pajak terutama dipakai untuk mempermudah pemahaman tentang cara perhitungan dalam penetapan besarnya Bea yang terutang.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Yang dimaksud dengan suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan adalah penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Berbeda dengan pengertian umum, untuk keperluan perpajakan pengertian hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah tidak termasuk saudara kandung.
Pembuktian hubungan keluarga tersebut didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam fatwa waris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ini : Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayahnya sebidang tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp 130.000.000,00, maka
besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
– Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 130.000.000,00 |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 30.000.000,00————————– (-) |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 100.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang seharusnya terutang = | 5% x Rp 100.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang harus dibayar = | 0% x Rp.5.000.000,00 = 0 (Nihil). |
Huruf b
Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Huruf b ini :
Badu memperoleh hibah wasiat dari Ali, antara Badu dan Ali tidak ada hubungan keluarga sedarah, berupa sebidang tanah yang di atasnya terdapat bangunan rumah dengan NPOP sebesar Rp130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
– Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 130.000.000,00 |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 30.000.000,00————————– (-) |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 100.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang seharusnya terutang = | 5% x Rp 100.000.000,00 = Rp.5.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang harus dibayar = | 50% x Rp.5.000.000,00 = Rp 2.500.000,00. |
Huruf c
Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Huruf c ini :
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat sebidang tanah dengan NPOP sebesar Rp 130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
– Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 130.000.000,00 |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 30.000.000,00————————— (-) |
– Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 100.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang seharusnya terutang = | 5% x Rp 100.000.000,00 = Rp.5.000.000,00 |
– Bea atau pajak yang harus dibayar = | Rp 50% x Rp.5.000.000,00 =Rp 2.500.000,00. |
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3707