Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER – 42/PJ/2015
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 42/PJ/2015 TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN. Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: Pasal 2 (1) Objek pajak PBB Perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan. (2) Kegiatan usaha perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan usaha perhutanan yang diberikan:Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu termasuk IUPHHK-RE;Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu;Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu;Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu;Hak Pengusahaan Hutan;Hak Pemungutan Hasil Hutan; atauIzin lainnya yang sah, antara lain berupa penugasan khusus terkait dengan usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi. Pasal 3 (1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), meliputi:a.areal yang dikenakan PBB Perhutanan, berupa:1)Areal Produktif,meliputi:a)areal yang ditanami pada Hutan Tanaman;b)areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu; danc)areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu;2)Areal Belum Produktif, meliputi:a)areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau sudah diolah pada Hutan Tanaman;b)areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu;danc)areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu;3)Areal Tidak Produktif;4)Areal Pengaman; dan/atau5)Areal Emplasemen;b.areal yang tidak dikenakan PBB Perhutanan, berupa Areal Lainnya, yaitu areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang tidak dikenakan PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. (2) Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pasal 4 (1) Subjek pajak PBB Perhutanan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Perhutanan. (2) Wajib Pajak PBB Perhutanan adalah subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai kewajiban membayar PBB Perhutanan. Pasal 5 (1) Subjek pajak melakukan pendaftaran objek pajak PBB Perhutanan atau Wajib Pajak melakukan pemutakhiran data objek pajak PBB Perhutanan dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri dokumen pendukung antara lain berupa rencana kerja usaha, rencana kerja tahunan dan peta areal kerja. (2) LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP. (3) Bentuk formulir untuk:SPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini; danLSPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini,yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 6Penatausahaan objek pajak PBB Perhutanan dilakukan oleh: Pasal 7 (1) Besarnya PBB Perhutanan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak. (2) Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persentase tertentu dari NJOP yang besarnya ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penetapan besarnya Nilai Jual Kena Pajak. (3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan. Pasal 8 (1) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) merupakan hasil perkalian antara total luas areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan dengan NJOP bumi per meter persegi. (2) NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bumi. (3) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan. (4) Total nilai bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal objek pajak yang dikenakan PBB Perhutanan dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal objek pajak dimaksud. (5) Nilai bumi per meter persegi untuk masing-masing areal objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:Areal Produktif ditentukan melalui hasil pembagian antara nilai bumi Areal Produktif dengan luas Areal Produktif;Areal Belum Produktif ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada di sekitarnya;Areal Emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada di sekitarnya;Areal Pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi Areal Belum Produktif.Areal Tidak Produktif ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (6) Nilai bumi Areal Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a untuk Hutan Alam merupakan hasil perkalian pendapatan bersih setahun dengan Angka Kapitalisasi. (7) Pendapatan bersih setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan sebesar pendapatan kotor setahun dikurangi Biaya Produksi setahun, sebelum tahun pajak. (8) Pendapatan kotor setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diperoleh dari jumlah produksi hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu setahun, dikalikan dengan harga jual rata-rata hasil hutan dalam setahun sebelum tahun pajak. (9) Harga jual rata-rata hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu yang terjadi secara wajar. (10) Biaya Produksi setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun. (11) Nilai bumi Areal Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a untuk Hutan Tanaman ditentukan melalui penyesuaian nilai bumi per meter persegi areal belum produktif dikalikan luas areal, produktif kemudian ditambah dengan SIT. Pasal 9 (1) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi. (2) NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bangunan. (3) Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil pembagian antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan. (4) Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah nilai bangunan masing-masing bangunan. (5) Nilai bangunan untuk masing-masing bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan sebesar biaya pembangunan baru dikurangi penyusutan. Pasal 10Jumlah
Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER – 41/PJ/2015
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 41/PJ/2015 TENTANG PENGAMANAN TRANSAKSI ELEKTRONIK LAYANAN PAJAK ONLINE DIREKTUR JENDERAL PAJAK,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAMANAN TRANSAKSI ELEKTRONIK LAYANAN PAJAK ONLINE. Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan: Pasal 2 (1) Wajib Pajak dapat melakukan Transaksi Elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak melalui Layanan Pajak Online untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. (2) Untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan melalui Layanan Pajak Online, Wajib Pajak harus memiliki EFIN. (3) EFIN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada setiap Wajib Pajak. Pasal 3 (1) Wajib Pajak harus mendaftarkan diri pada Layanan Pajak Online untuk dapat melakukan Transaksi Elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak. (2) Untuk menjamin keamanan Transaksi Elektronik dalam Layanan Pajak Online, Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan username dan password yang berfungsi sebagai salah satu alat autentikasi. (3) Alat autentikasi pengguna selain username dan password yang dapat digunakan dalam Layanan Pajak Online antara lain:EFIN;Sertifikat Elektronik;Token; atauPIN (4) Dalam rangka menjaga keamanan dan kerahasiaan, Wajib Pajak harus menjaga alat autensifikasi dari penggunaan secara tidak sah dan mengubah password atau PIN secara berkala melalui aplikasi yang tersedia pada Layanan Pajak Online. Pasal 4 (1) Untuk dapat melakukan pendaftaran pada DJP Online atau Sistem Elektronik yang disediakan oleh Penyedia Layanan SPT Elektronik, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan aktivasi EFIN. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Wajib Pajak dengan menggunakan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (3) Bagi Wajib Pajak orang pribadi, syarat dan ketentuan pengajuan permohonan aktivasi EFIN adalah sebagai berikut:a.permohonan aktivasi EFIN dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri tidak diperkenankan untuk dikuasakan kepada pihak lain;b.Wajib Pajak mengisi, manandatangani dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN dengan mendatangi secara langsung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Kosultasi Perpajakan (KP2KP) terdekat dan lokasi lain yang ditentukan oleh KPP atau KP2KP;c.Wajib Pajak menunjukan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:1)identitas diri berupa:a)Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga Negara Indonesia; ataub)Paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga negara asing; dan2)kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT);d.menyampaikan alamat e-mail aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. (4) Bagi Wajib Pajak badan, syarat dan ketentuan pengajuan permohonan aktivasi EFIN adalah sebagai berikut:a.permohonan aktivasi EFIN dilakukan oleh pengurus yang ditunjuk untuk mewakili badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya;b.pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a mengisi, menandatangani dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN dengan mendatangi secara langsung KPP tempat Wajib Pajak terdaftar;c.pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:1)surat penunjukan pengurus yang bersangkutan untuk mewakili badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.2)identitas diri berupa :a)KTP dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan warga Negara Indonesia; ataub)Paspor dan KITAS atau KITAP dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan warga negara asing;3)kartu NPWP atau SKT atas nama yang bersangkutan;dan4)kartu NPWP atau SKT atas nama Wajib Pajak badan.d.menyampaikan alamat e-mail aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. (5) Dalam hal Wajib Pajak badan merupakan kantor cabang maka syarat dan ketentuan pengajuan permohonan aktivasi EFIN adalah sebagai berikut:a.pimpinan kantor cabang sebagai pengurus yang ditunjuk untuk mewakili badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya mengisi, menandatangani dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN ke KPP tempat Wajib Pajak kantor cabang terdaftar;b.pimpinan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada huruf a menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:1)surat pengangkatan pimpinan kantor cabang;2)surat penunjukan pimpinan kantor cabang sebagai pengurus yang mewakili badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya;3)identitas diri berupa :a)KTP dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan warga Negara Indonesia; ataub)Paspor dan KITAS atau KITAP dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan warga negara asing;4)kartu NPWP atau SKT atas nama yang bersangkutan; dan5)kartu NPWP atau SKT atas nama kantor cabang.c.menyampaikan alamat e-mail aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. (6) Permohonan aktivasi EFIN dinyatakan lengkap dalam hal:memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Wajib Pajak orang pribadi; ataumemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bagi Wajib Pajak badan; ataumemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi Wajib Pajak badan yang merupakan kantor cabang. (7) Dalam hal permohonan aktivasi EFIN dinyatakan tidak lengkap, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan ulang dengan melengkapi dokumen yang disyaratkan. Pasal 5 (1) KPP atau KP2KP melakukan aktivasi EFIN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam hal:a.permohonan dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6);b.NPWP dinyatakan valid dengan kriteria sebagai berikut:1)bagi Wajib Pajak orang pribadi, nama dan NPWP atas Wajib Pajak orang pribadi sesuai dengan nama dan NPWP Wajib Pajak dalam basis data Direktorat Jenderal Pajak.2)bagi Wajib Pajak badan:a)nama dan NPWP atas Wajib Pajak badan sesuai dengan nama dan NPWP Wajib Pajak dalam basis data Direktorat Jenderal Pajak; danb)nama dan NPWP atas wakil Wajib Pajak badan sesuai dengan nama dan NPWP wakil Wajib Pajak dalam basis data Direktorat Jenderal Pajak;c.kebenaran fisik pemohon dapat dibuktikan sesuai dengan data dan identitas yang disampaikan oleh pemohon. (2) Proses aktivasi EFIN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh KPP atau KP2KP dalam jangka waktu satu hari kerja. Pasal 6 (1) Wajib Pajak orang pribadi karyawan dapat mengajukan permohonan aktivasi EFIN secara berkelompok melalui pemberi kerja ke KPP atau KP2KP terdekat. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:jumlah pegawai yang mengajukan permohonan EFIN lebih dari 20 orang;nama pegawai sebagaimana dimaksud pada huruf a tercantum dalam SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21;pemberi kerja menyediakan tempat dan sarana pendukung yang dibutuhkan KPP atau KP2KP untuk melakukan aktivasi EFIN; danpegawai sebagaimana dimaksud pada huruf a hadir pada saat aktivasi EFIN. (3) Pengajuan permohonan kepada KPP atau KP2KP untuk melakukan proses aktivasi EFIN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemberi Kerja dengan menggunakan surat permohonan aktivasi EFIN secara berkelompok melalui Pemberi
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 87/PJ/2007
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 87/PJ/2007 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN WAJIB PAJAK, SUBJEK PAJAK DAN OBJEK PAJAK DALAM RANGKAPEMBENTUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA DI PULAU JAWA DAN PULAU BALIKPP PRATAMA DI WILAYAH KANWIL DJP JAKARTA PUSAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK,Menimbang : bahwa dalam rangka memperlancar penatausahaan Wajib Pajak, Subjek Pajak, dan Objek Pajak serta keseragaman administrasi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penatausahaan Wajib Pajak, Subjek Pajak dan Objek Pajak Dalam Rangka Pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Di Pulau Jawa dan Pulau Bali Selain KPP Pratama di Wilayah Kanwil DJP Jakarta Pusat. Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : TATA CARA PENATAUSAHAAN WAJIB PAJAK, SUBJEK PAJAK DAN OBJEK PAJAK DALAM RANGKA PEMBENTUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA DI PULAU JAWA DAN PULAU BALI KPP PRATAMA DI WILAYAH KANWIL DJP JAKARTA PUSAT Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan: Pasal 2 Pasal 3Tugas dan fungsi KPP Lama yang berkenaan dengan pengurangan, keberatan dan banding dialihkan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6Tata cara penanganan berkas Wajib Pajak, informasi perpajakan dan pendaftaran Wajib Pajak sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 7Tata cara pemecahan data Master File, Alat Keterangan, perekaman data dan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 8Tata cara pemberian Surat Keterangan Bebas, pemberian keputusan pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pelayanan Pelunasan Bea Materai dengan cara lain, pemindahbukuan (Pbk), dan penerbitan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) sehubungan dengan pembentukan Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 9Tata cara administrasi dan pelaksanaan pemeriksaan dan penyidikan pajak sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 10Tata cara pelaksanaan penagihan aktif dan pemberian persetujuan atau penolakan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak kepada Wajib Pajak sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 11Tata cara pelaksanaan penyelesaian permohonan pembetulan ketetapan pajak, keberatan, Banding Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi, pengurangan/pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 12Tata cara pengalihan tugas dan fungsi KPPBB ke KPP Pratama dan Kanwil Direktorat Jnderal Pajak berdasarkan lokasi objek PBB dan BPHTB sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 13Pelaksanaan administrasi Non Perpajakan yang menyangkut keuangan, kepegawaian, perlengkapan, dan lainnya sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 14Tata cara penggunaan formulir perpajakan dan faktur pajak lama oleh Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Pratama Pecahan sehubungan dengan pembentukan KPP Pratama adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran IX Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 15Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, akan diatur lebih lanjut oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dimana KPP Pratama tersebut berada. Pasal 16Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di JakartaPada tanggal 11 Juni 2007DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. DARMIN NASUTION
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 07/PJ/2017
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 07/PJ/2017 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN LAPANGANDALAM RANGKAPEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHANKEWAJIBAN PERPAJAKAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN LAPANGAN DALAM RANGKA PEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. Pasal 1 (1) Pemeriksaan Lapangan dalam rangka Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diawali dengan pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. (2) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan surat panggilan kepada Wajib Pajak. (4) Dengan disampaikannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Wajib Pajak tidak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Pasal 2 (1) Surat panggilan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) merupakan surat yang digunakan Pemeriksa Pajak untuk memanggil Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai prosedur awal Pemeriksaan Lapangan, (2) Surat panggilan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit;waktu, tempat, dan maksud dilaksanakannya pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak; danbuku, catatan, dan dokumen yang harus dibawa oleh Wajib Pajak. (3) Waktu dilaksanakannya pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditentukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterbitkannya surat panggilan, dengan mempertimbangkan lokasi Wajib Pajak. (4) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 3 (1) Pertemuan sebagaimana dimaksud dalam surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus dihadiri oleh:wakil Wajib Pajak sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, untuk Wajib Pajak Badan;orang pribadi yang bersangkutan, untuk Wajib Pajak orang pribadi;salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalan, untuk warisan yang belum terbagi; atauwali atau pengampunya, untuk anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan, (2) Pertemuan antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak harus dilakukan;pada waktu dan tempat sesuai dengan surat panggilan; dandi ruangan khusus yang memiliki alat perekam suara (audio) dan gambar (visual). (3) Wajib Pajak yang menghadiri pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didampingi oleh pihak lain. (4) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain pegawai atau konsultan pajak yang memahami kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. (5) Dalam melaksanakan pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus memenuhi permintaan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan Pemeriksa Pajak sebagaimana tercantum dalam surat panggilan. Pasal 4 (1) Dalam hal Wajib Pajak hadir sesuai dengan surat panggilan, Pemeriksa Pajak:a.memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) kepada Wajib Pajak;b.memberikan penjelasan mengenai alasan dan tujuan Pemeriksaan;c.menandatangani dokumen pakta integritas yang ditandatangani bersama antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan dan diketahui Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan;d.melakukan permintaan keterangan kepada Wajib Pajak yang diperiksa sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, yang paling sedikit harus meminta penjelasan atas hal-hal sebagai berikut:1)identitas Wajib Pajak yang dimintai keterangan;2)proses bisnis Wajib Pajak;3)pembukuan atau pencatatan yang dilakukan Wajib Pajak termasuk dokumentasinya;4)informasi mengenai pelanggan dan supplier utama Wajib Pajak;5)transaksi-transaksi yang bersifat khusus; atau6)klarifikasi terhadap data yang ditemukan Pemeriksa Pajak dengan data pada SPT,dan menuangkannya dalam Berita Acara Pemberian Keterangan; dane.melaksanakan hal-hal lain sesuai dengan tata cara Pemeriksaan. (2) Pakta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan Berita Acara Pemberian Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. (3) Berita Acara Pemberian Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menjadi dasar bagi Pemeriksa Pajak untuk dapat melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak. Pasal 5 (1) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir, Pemeriksa Pajak;membuat Berita Acara Ketidakhadiran yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pajak; danmelanjutkan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan dengan melakukan pengujian di tempat Wajib Pajak. (2) Dalam hal Wajib Pajak hadir pada waktu yang tidak sesuai dengan surat panggilan dan tanpa melakukan konfirmasi sebelumnya dengan Pemeriksa Pajak, Wajib Pajak dianggap tidak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Berita Acara Ketidakhadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 6 (1) Pengujian di tempat Wajib Pajak oleh Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (1) huruf b didampingi oleh petugas yang ditunjuk oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan melalui surat tugas. (2) Petugas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas untuk:memastikan tata cara pemeriksaan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;memastikan Wajib Pajak dapat melaksanakan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku; danmemastikan Pemeriksaan terselenggara sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik. (3) Setelah melakukan tugas pendampingan, petugas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun dan menyampaikan laporan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan. Pasal 7Prosedur lebih lanjut pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal ini diatur dalam petunjuk teknis pemeriksaan lapangan. Pasal 8Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakartapada tanggal 21 April 2017DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. KEN DWIJUGIASTEADI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 06/PJ/2017
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 06/PJ/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER-50/PJ/2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANTATA NASKAH DINAS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-50/PJ/2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TATA NASKAH DINAS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. Pasal IMenambahkan 1 (satu) huruf dalam BAB III huruf I butir 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Naskah Dinas Direktorat Jenderal Pajak yakni huruf i, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal IIPeraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakartapada tanggal 04 April 2017DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. KEN DWIJUGIASTEADI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 05/PJ/2017
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAKNOMOR PER – 05/PJ/2017 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK SECARA ELEKTRONIK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEMBAYARAN PAJAK SECARA ELEKTRONIK. Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan: Pasal 2 (1) Pembayaran atau penyetoran pajak secara elektronik melalui Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak meliputi seluruh jenis pajak, kecuali:pajak dalam rangka impor yang diadministrasikan pembayarannya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/ataupajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus. (2) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran dalam mata uang Rupiah dan Dollar Amerika Serikat. (3) Pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan untuk:Pajak Penghasilan Pasal 25, Pajak Penghasilan Pasal 29, Pajak Penghasilan yang bersifat Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Minyak Bumi, dan Pajak Penghasilan Gas Bumi, dari Wajib Pajak yang memperoleh izin atau telah menyampaikan pemberitahuan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat; dansurat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat. (4) Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. Pasal 3 (1) Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dapat dilakukan melalui:teller Bank/Pos Persepsi;Anjungan Tunai Mandiri (ATM);internet banking;mobile banking;EDC; atausarana lainnya. (2) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak menerima BPN sebagai bukti setoran. (3) BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dalam bentuk:dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk pembayaran atau penyetoran melalui teller dengan Kode Billing;struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM atau EDC;dokumen elektronik, untuk pembayaran atau penyetoran melalui internet banking atau mobile banking; atauteraan elemen data BPN pada SSP untuk pembayaran melalui teller Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan SSP. (4) BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencantumkan elemen-elemen sebagai berikut:NTPN;NTB atau NTP;Kode Billing;Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);nama Wajib Pajak;alamat Wajib Pajak, kecuali untuk BPN yang diterbitkan melalui ATM dan EDC;Nomor Objek Pajak (NOP), bila ada;Kode Akun Pajak;Kode Jenis Setoran;Masa Pajak;Tahun Pajak;nomor ketetapan pajak, bila ada;uraian pembayaran, bila ada;NPWP penyetor, bila ada;nama penyetor, bila ada;tanggal bayar; danjumlah nominal pembayaran. (5) BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk cetakan, salinan, dan fotokopinya, kedudukannya disamakan dengan SSP dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (6) Dalam hal terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data pembayaran menurut sistem Penerimaan Negara secara elektronik, maka yang dianggap sah adalah data sistem penerimaan Negara secara elektronik. Pasal 4 (1) Kode Billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), dapat diperoleh Wajib Pajak, melalui:layanan mandiri (self-service),penerbitan secara jabatan (official-service) oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terbit surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, SPPT PBB, STP PBB, atau SKP PBB yang mengakibatkan kurang bayar. (2) Pembuatan Kode Billing melalui layanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan oleh Wajib Pajak dengan mengakses:Aplikasi Billing DJP; ataulayanan, produk, aplikasi, atau sistem penerbitan Kode Billing yang terhubung dengan Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak yang disediakan, oleh Bank/Pos Persepsi dan pihak lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, meliputi perusahaan Application Service Provider dan Perusahaan Telekomunikasi. (3) Pembuatan Kode Billing melalui layanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan melalui asistensi oleh:pegawai Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan penugasannya,petugas Bank/Pos Persepsi, ataupengguna (user) tertentu yang mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pasal 5 (1) Wajib Pajak dapat memperoleh Kode Billing melalui layanan mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dengan melakukan input data setoran pajak yang akan dibayarkan. (2) Input data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:atas nama dan NPWP milik Wajib Pajak sendiri, atauatas nama dan NPWP milik Wajib Pajak lain atau atas nama Subjek Pajak yang belum atau tidak memiliki NPWP, dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai Wajib Pungut. (3) Dalam hal input data dilakukan atas nama Subjek Pajak yang belum atau tidak memiliki NPWP, kolom isian NPWP diisi dengan 00.000.000.0-XXX.000, dengan XXX Kode KPP tempat transaksi atau objek pajak diadministrasikan. Pasal 6 (1) Mekanisme Pembuatan Kode Billing melalui asistensi petugas Bank/Pos Persepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b beserta pembayaran atau penyetoran pajaknya, sebagai berikut:Wajib Pajak menyerahkan SSP yang telah diisi lengkap dan ditandatangani kepada petugas Bank/Pos Persepsi, dengan menyertakan uang sejumlah nominal dalam SSP.Petugas Bank/Pos Persepsi memeriksa kesesuaian uang yang disertakan oleh Wajib Pajak dengan nominal yang disebutkan dalam SSP.Dalam hal jumlah uang dan nominal yang disebutkan dalam SSP telah sesuai, Petugas Bank/Pos Persepsi melakukan input data pembayaran atau setoran pajak untuk menerbitkan Kode Billing.Petugas Bank/Pos Persepsi mencetak bukti penerbitan Kode Billing dan menyerahkannya kepada Wajib Pajak.Wajib Pajak memeriksa kesesuaian elemen data pada bukti penerbitan Kode Billing dengan isian SSP.Dalam hal elemen data yang tertera pada bukti penerbitan Kode Billing telah sesuai dengan isian SSP, Wajib Pajak menandatangani bukti penerbitan Kode Billing dan menyerahkannya kembali kepada teller Bank/Pos Persepsi.Teller Bank/Pos Persepsi memproses transaksi pembayaran pajak atas Kode Billing dimaksud, dan memeriksa kesesuaian elemen data pada bukti penerbitan Kode Billing sebelum melakukan penerbitan BPN.Wajib Pajak menerima kembali SSP yang telah ditera dengan elemen-elemen data BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) serta dibubuhi tanda tangan atau paraf, nama pejabat Bank/Pos Persepsi, dan cap Bank/Pos Persepsi sebagai bukti pembayaran atau penyetoran pajak. (2) Kebenaran elemen data yang tertera pada BPN merupakan tanggung jawab Wajib Pajak yang telah menandatangani bukti penerbitan Kode Billing. Pasal 7Penyesuaian atas kesalahan input data setoran pajak yang mengakibatkan kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, diselesaikan melalui prosedur Pemindahbukuan dalam administrasi perpajakan atau melalui prosedur lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 8 (1) Kode Billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, berlaku selama 720 (tujuh ratus dua puluh) jam atau 30 x 24 (tiga puluh kali dua puluh empat) jam sejak Kode Billing diterbitkan. (2) Kode Billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berlaku sampai dengan:2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan surat ketetapan pajak;2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak;7 (tujuh) bulan sejak tanggal diterbitkan SPPT PBB;2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan STP PBB;