Taxco
Solution

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2022

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: BAB IIASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:pemerataan hak;kepastian hukum;kemudahan berusaha;kebersamaan; dankemandirian. (2) Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Pasal 3Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk: Pasal 4Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi: Pasal 5Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. BAB IIIPENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA Bagian KesatuUmum Pasal 6 Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: Bagian KeduaPenerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Paragraf 1Umum Pasal 7 (1) Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. (2) Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. (3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:kesehatan;keselamatan;lingkungan; dan/ataupemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. (4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. (5) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:jenis kegiatan usaha;kriteria kegiatan usaha;lokasi kegiatan usaha;keterbatasan sumber daya; dan/ataurisiko volatilitas. (6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:hampir tidak mungkin terjadi;kemungkinan kecil terjadi;kemungkinan terjadi; atauhampir pasti terjadi. (7) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:kegiatan usaha berisiko rendah;kegiatan usaha berisiko menengah; ataukegiatan usaha berisiko tinggi. Paragraf 2Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah Pasal 8 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. (2) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Paragraf 3Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah Pasal 9 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dankegiatan usaha berisiko menengah tinggi. (2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:nomor induk berusaha; dansertifikat standar. (3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:nomor induk berusaha; dansertifikat standar. (4) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. (5) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. (6) Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Paragraf 4Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi Pasal 10 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:nomor induk berusaha; danizin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. (3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. Paragraf 5Pengawasan Pasal 11Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha. Paragraf 6Peraturan Pelaksanaan Pasal 12Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian KetigaPenyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha Paragraf 1Umum Pasal 13Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi: Paragraf 2Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Pasal 14 (1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. (3) Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (4) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. (5) Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. (6) Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. Pasal 15 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2020

TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DANSTABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMICORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAUDALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKANPEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN. BAB IRUANG LINGKUP Pasal 1 (1) Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara, disusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terdiri atas anggaran pendapatan negara, anggaran belanja negara, dan pembiayaan anggaran. (2) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COV1D-19); dan/ataumenghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan,perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan. (4) Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. BAB IIKEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA Bagian KesatuPenganggaran dan Pembiayaan Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); danpenyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;menggunakan anggaran yang bersumber dari:Sisa Anggaran Lebih (SAL);dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/ataudana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel;menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri;memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/ataumelakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian KeduaKebijakan di Bidang Keuangan Daerah Pasal 3 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Bagian KetigaKebijakan di Bidang Perpajakan Pasal 4 (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; danpemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dansebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. (2) Wajib Pajak dalam negeri:berbentuk Perseroan Terbuka;dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); danmemenuhi persyaratan tertentu,dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berupa:pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); danpengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017

TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : Mengingat : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN. Pasal 1Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Pasal 2 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. (2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; danlaporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender. (3) Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:identitas pemegang rekening keuangan;nomor rekening keuangan;identitas lembaga jasa keuangan;saldo atau nilai rekening keuangan; danpenghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. (4) Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. (5) Prosedur identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi kegiatan:melakukan verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;melakukan verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;melakukan verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;melakukan verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; danmelakukan dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan. (6) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diperbolehkan melayani:pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah baru; atautransaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama,yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia. (8) Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 3 (1) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan:mekanisme elektronik melalui Otoritas Jasa Keuangan bagi lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;mekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; danmekanisme non-elektronik sepanjang mekanisme elektronik belum tersedia, kepada Direktur Jenderal Pajak, untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Dalam hal terdapat perubahan mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menentukan mekanisme lain setelah mendapat pertimbangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (3) Terhadap penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 60 (enam puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan; danOtoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. (4) Penyampaian laporan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender. Pasal 4 (1) Selain menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain. (2) Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak. (3) Informasi keuangan yang tercantum dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 5Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain. Pasal 6 (1) Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. (2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. (3) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. Pasal IKetentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang : diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 37A (1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tanggal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal IIPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.   Ditetapkan di JakartaPada tanggal 31 Desember 2008PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakartapada tanggal 31 Desember 2008MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 211 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan salah satu tonggak perubahan yang mendasar dari reformasi perpajakan di Indonesia. Undang-Undang ini disusun dengan tujuan antara lain untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan ketentuan khusus yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk lebih terbuka dan jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang telah lalu. Apabila Wajib Pajak menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajaknya. Dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, sangat mendesak untuk memperkuat basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil. Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sangat efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional. Menjelang berakhirnya jangka waktu pemberian fasilitas pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, masih banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas dimaksud, namun mengalami kendala kurangnya waktu dalam mempersiapkan penyampaian pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, perlu segera memperpanjang jangka waktu pelaksanaan ketentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal Cukup jelas.Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4953