PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44/PMK.01/2007
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 44/PMK.01/2007 TENTANG SINERGI TUGAS DAN PROSES BISNIS DI BIDANG KEBIJAKAN FISKALDAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SINERGI TUGAS DAN PROSES BISNIS DI BIDANG KEBIJAKAN FISKAL DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA. BAB IPENGERTIAN Pasal 1Dalam peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : (1) Kebijakan adalah kebijakan di tingkat Menteri Keuangan dan/atau di tingkat Pemerintah, berupa Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan/Peraturan Presiden, dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang fiskal yang menjadi landasan bagi perumusan Kebijakan Fiskal dan Penyusunan RAPBN. (2) RAPBN adalah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. BAB IIPENERIMAAN PERPAJAKAN Pasal 2 (1) Badan Kebijakan Fiskal merekomendasikan rencana penerimaan perpajakan sebagai dasar penyusunan RAPBN. (2) Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan masukan dan kelayakan atas rencana penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan rencana penerimaan APBN bulanan per Kantor Wilayah per jenis penerimaan. (4) Direktorat Jenderal Anggaran menuangkan target penerimaan perpajakan dalam RAPBN dan memantau realisasi pencapaian target penerimaan perpajakan. BAB IIIPENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK Pasal 3 (1) Badan Kebijakan Fiskal merumuskan rekomendasi kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (2) Direktorat Jenderal Anggaran merekomendasikan target penerimaan dan memantau realisasi pencapaian target PNBP. BAB IVBELANJA PEMERINTAH PUSAT Pasal 4 (1) Badan Kebijakan Fiskal merumuskan rekomendasi kebijakan belanja pemerintah pusat. (2) Direktorat Jenderal Anggaran merekomendasikan besaran anggaran dan memantau realisasi belanja pemerintah pusat. (3) Direktorat Jenderal Anggaran merumuskan Penganggaran Jangka Menengah dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Badan Kebijakan Fiskal. BAB VDESENTRALISASI FISKAL DAN BELANJA DAERAH Pasal 5 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Badan Kebijakan Fiskal. (2) Direktorat Jenderal Anggaran merekomendasikan besaran anggaran belanja untuk daerah dengan mempertimbangkan masukan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (3) Badan Kebijakan Fiskal merumuskan besaran pagu defisit nasional yang mencakup defisit RAPBN dan defisit total Rancangan APBD. (4) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan merumuskan batas maksimal kumulatif defisit APBD secara keseluruhan, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah secara keseluruhan. BAB VIPROSES PEMBAHASAN RAPBN DI DPR-RI Pasal 6 (1) Badan Kebijakan Fiskal mengkoordinasikan pembahasan dengan DPR-RI atas pokok-pokok kebijakan fiskal, asumsi makro, pendapatan negara, defisit dan pembiayaan anggaran serta risiko fiskal. (2) Direktorat Jenderal Anggaran mengkoordinasikan pembahasan dengan DPR-RI atas belanja pemerintah pusat. (3) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mengkoordinasikan pembahasan dengan DPR-RI atas belanja daerah. BAB VIIKETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 7 (1) Setiap usulan rumusan kebijakan fiskal dari Direktorat Jenderal/Badan di lingkungan Departemen Keuangan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal. (2) Badan Kebijakan Fiskal atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan merumuskan rekomendasi atas usulan rumusan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan tembusannya disampaikan kepada Direktorat Jenderal/Badan terkait untuk mendapatkan tanggapan, sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal. (3) Setiap usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal dari Badan Kebijakan Fiskal disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal/Badan terkait. (4) Direktorat Jenderal/Badan terkait atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan tanggapan atas usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal. Pasal 8Ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. BAB VIIIPENUTUP Pasal 9Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di JakartaPada tanggal 25 April 2007Menteri Keuangan, ttd. Sri Mulyani Indrawati
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2016
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN PAJAK ROKOK UNTUK PENDANAANPELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,Menimbang : bahwa untuk meningkatkan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif melalui pencegahan dan pengendalian penyakit serta peningkatan kesehatan masyarakat dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 4421 ); 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5049); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380); 7. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193); 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1007) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 791); MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN PAJAK ROKOK UNTUK PENDANAAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT. Pasal 1Petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk memberikan acuan kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif melalui penerimaan pajak rokok, sehingga menjadi tepat guna, tepat sasaran, dan dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat yang optimal. Pasal 2 (1) Penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat digunakan untuk kegiatan:a.penurunan faktor risiko penyakit tidak menular;b.penurunan faktor risiko penyakit menular termasuk imunisasi;c.peningkatan promosi kesehatan;d.peningkatan kesehatan keluarga;e.peningkatan gizi;f.peningkatan kesehatan lingkungan;g.peningkatan kesehatan kerja dan olah raga;h.peningkatan pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya; dani.pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. (2) Selain digunakan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pajak rokok dapat digunakan untuk peningkatan pembangunan dan pemeliharaan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas). (3) Penggunaan pajak rokok untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari alokasi yang ditetapkan. (4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kelompok sasaran yang meliputi pemerintah, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, organisasi/asosiasi profesi, lembaga/organisasi masyarakat, dunia usaha/swasta, media massa, dan pemangku kepentingan lain yang terkait. Pasal 3Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menggunakan strategi: a. pemberdayaan masyarakat; b. advokasi; c. kemitraan; d. peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan dan nonkesehatan; dan/atau e. pemenuhan sarana dan prasarana promotif dan preventif untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Pasal 4Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat menjadi tepat guna, tepat sasaran, dan dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat yang optimal. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:a.advokasi dan sosialisasi; dan/ataub.pemantauan dan evaluasi. Pasal 6Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakartapada tanggal 18 Agustus 2016MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NILA FARID MOELOEK Diundangkan di Jakartapada tanggal 10 Oktober 2016DIREKTUR JENDERALPERATURAN PERUNDANG-UNDANGANKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA, ttd WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1500