Taxco
Solution

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR PER – 8/BC/2022

TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAKDIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAIDAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG DANBAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG PADA BARANG LAINDENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: 1. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. 2. Bea Masuk Tambahan adalah tambahan atas Bea Masuk seperti Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan. 3. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.  4. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, yang selanjutnya disebut KITE Pembebasan, adalah pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor atau pemasukan Barang dan Bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. 5. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil Menengah, yang selanjutnya disebut KITE IKM adalah kemudahan berupa pembebasan Bea Masuk, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas impor dan/atau pemasukan barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor dan/atau penyerahan produksi IKM. 6. Perusahaan KITE Pembebasan adalah badan usaha yang ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pembebasan. 7. Perusahaan KITE IKM adalah badan usaha yang memenuhi kriteria industri kecil atau industri menengah dan telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE IKM. 8. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Wilayah, KPU, dan Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. 9. Barang dan Bahan adalah barang dan bahan baku, termasuk bahan penolong dan bahan pengemas yang:a.diimpor;b.dimasukkan dari tempat penimbunan berikat, kawasan bebas dan/atau kawasan ekonomi khusus yang berasal dari luar daerah pabean; atauc.dimasukkan dari perusahaan KITE Pembebasan lainnya atau perusahaan KITE IKM,dengan fasilitas KITE Pembebasan, untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada barang lain untuk menjadi barang hasil produksi yang mempunyai nilai tambah. 10. Hasil Produksi adalah hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan Bahan. 11. Barang dan Bahan Rusak adalah Barang dan Bahan yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan mutu dan tidak dapat diproses atau apabila diproses akan menghasilkan Hasil Produksi yang tidak memenuhi kualitas dan/atau standar mutu. 12. Hasil Produksi Rusak adalah Hasil Produksi yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan kualitas/standar mutu. 13. Diolah adalah dilakukan pengolahan untuk menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah. 14. Dirakit adalah dilakukan perakitan dan/atau penyatuan sehingga menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah. 15. Dipasang adalah dilakukan pemasangan, pelekatan, dan/atau penggabungan dengan barang lain sehingga menghasilkan barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah. 16. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. 17. Gudang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. 18. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai. 19. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean untuk dipamerkan. 20. Pusat Logistik Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. 21. Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai. 22. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. 23. Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 25. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 26. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai. 27. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 28. Kantor Pelayanan Utama yang selanjutnya disingkat KPU adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 29. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. BAB IIPENETAPAN SEBAGAI PERUSAHAAN KITE PEMBEBASANDAN PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI MENGENAIPENETAPAN SEBAGAI PERUSAHAAN KITE PEMBEBASAN Bagian KesatuPenetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan Pasal 2 (1) Permohonan penetapan sebagai Perusahaan KITE Pembebasan diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha oleh badan usaha secara elektronik melalui sistem aplikasi perizinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam kerangka online single submission. (2) Sistem aplikasi perizinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan validasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a.kesesuaian perizinan berusaha yang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR PER – 10/BC/2022

TENTANG TATA LAKSANA PEMOTONGAN KUOTA BARANG IMPOR YANG MENDAPATKANFASILITAS PEMBEBASAN ATAU KERINGANAN BEA MASUK ATAU BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Mengingat : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA LAKSANA PEMOTONGAN KUOTA BARANG IMPOR YANG MENDAPATKAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU KERINGANAN BEA MASUK ATAU BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH.  BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: 1. Pemotongan Kuota adalah proses atau kegiatan mengurangkan jumlah barang impor yang telah diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah dengan jumlah barang yang tercantum dalam pemberitahuan pabean impor. 2. Saldo Pemotongan Kuota adalah jumlah dan jenis barang impor yang telah diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah dikurangi dengan realisasi impornya. 3. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 5. Direktur adalah direktur yang melaksanakan tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi di bidang fasilitas kepabeanan. 6. Pejabat Bea dan Cukai yang Menangani Fasilitas Kepabeanan adalah:a.pejabat pada bidang yang mempunyai tugas melaksanakan pelayanan perizinan fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; ataub.pejabat pada seksi yang mempunyai tugas melakukan pelayanan teknis dan fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai pada Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai. 7. Pejabat Pemeriksa Dokumen adalah pejabat fungsional pemeriksa dokumen atau kepala seksi pabean. 8. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean. BAB IIRUANG LINGKUP Pasal 2Pemotongan Kuota yang diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal ini dilakukan terhadap pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai: Pasal 3Impor dan atau pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi kegiatan: Pasal 4Pemberitahuan pabean impor di dalam Peraturan Direktur Jenderal ini meliputi: Pasal 5Pemotongan Kuota dalam Peraturan Direktur Jenderal ini dilakukan terhadap impor dan/atau pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah dilakukan oleh pengusaha yang meliputi: Pasal 6 (1) Pemotongan Kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan secara elektronik. (2) Dalam hal Pemotongan Kuota secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan atau mengalami gangguan, Pemotongan Kuota dilakukan secara manual melalui sistem terintegrasi. (3) Dalam hal Pemotongan Kuota secara manual melalui sistem terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan, Pemotongan Kuota dilakukan secara manual. BAB IIIPEMOTONGAN KUOTA SECARA ELEKTRONIK Pasal 7 (1) Terhadap impor atau pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah dilakukan Pemotongan Kuota secara elektronik pada saat penyampaian dokumen kepabeanan melalui sistem komputer pelayanan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 5. (2) Pemotongan Kuota secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membandingkan elemen data yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah dengan elemen data yang tercantum dalam pemberitahuan pabean impor, meliputi:a.nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah;b.nomor item barang pada Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah;c.Kantor Pabean;d.jenis barang, termasuk spesifikasi barang (merek, tipe, dan/atau ukuran); dane.jumlah dan satuan barang. (3) Pemotongan Kuota secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengurangkan jumlah barang yang tercantum pada Saldo Pemotongan Kuota dengan jumlah barang yang tercantum dalam pemberitahuan pabean impor. Pasal 8 (1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib memberitahukan elemen data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) pada pemberitahuan pabean impor sesuai dengan elemen data yang tercantum dalam Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk. (2) Dalam hal elemen data pada pemberitahuan pabean impor sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) berbeda dengan elemen data dalam Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah, sistem komputer pelayanan melakukan penolakan. Pasal 9 (1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah dan/atau jenis barang impor berdasarkan:a.pemberitahuan pembetulan pemberitahuan pabean impor;b.pemeriksaan fisik barang; atauc.pemeriksaan dokumen pemberitahuan pabean impor, Pejabat Pemeriksa Dokumen melakukan penelitian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan. (2) Terhadap perbedaan jumlah dan/atau jenis barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pemeriksa Dokumen dan/atau Sistem Aplikasi Pemotongan Kuota melakukan perbaikan terhadap Saldo Pemotongan Kuota. BAB IVPEMOTONGAN KUOTA SECARA MANUAL MELALUI SISTEMTERINTEGRASI Pasal 10 (1) Dalam hal Pemotongan Kuota dilakukan secara manual melalui sistem terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai yang Menangani Fasilitas Kepabeanan menerima pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan nomor pendaftaran dan Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah baik secara fisik atau melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) yang telah diberitahukan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Terhadap pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan nomor pendaftaran dan Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai yang Menangani Fasilitas Kepabeanan meneliti kebenaran dan kesesuaian atas:a.nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah;b.nomor item barang pada Keputusan Menteri mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk atau bea masuk ditanggung pemerintah;c.Kantor Pabean;d.jenis barang, termasuk spesifikasi barang (merek, tipe, dan/atau ukuran); dane.jumlah dan satuan barang,dengan mencocokkan data pada Sistem Indonesia National Single Window (SINSW). (3) Pemotongan Kuota secara manual melalui sistem terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. BAB VPEMOTONGAN KUOTA SECARA MANUAL Pasal 11 (1) Dalam hal Pemotongan Kuota dilakukan secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengajukan Pemotongan Kuota kepada Pejabat Bea dan Cukai yang Menangani Fasilitas

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR PER – 7/BC/2022

TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI SERTA VERIFICATION VISITDALAM PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPORBERDASARKAN PERJANJIAN ATAU KESEPAKATAN INTERNASIONAL DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA LAKSANA MONITORING DAN EVALUASI SERTA VERIFICATION VISIT DALAM PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR BERDASARKAN PERJANJIAN ATAU KESEPAKATAN INTERNASIONAL. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: 1. Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. 2. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh kantor pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. 3. Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional yang diterapkan oleh suatu negara untuk menentukan negara asal barang. 4. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang selanjutnya disebut SKA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh instansi penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi. 5. Deklarasi Asal Barang yang selanjutnya disingkat DAB adalah pernyataan asal barang yang dibuat oleh eksportir atau produsen sebagaimana diatur dalam masing-masing perjanjian atau kesepakatan internasional, yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi. 6. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani perjanjian atau kesepakatan internasional dalam rangka perdagangan barang. 7. Pihak adalah negara-negara yang terikat dalam perjanjian atau kesepakatan internasional. 8. Surat Keterangan Asal Elektronik yang selanjutnya disebut e-Form adalah SKA yang disusun sesuai dengan Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota. 9. Instansi atau Pihak yang Berwenang adalah:a.instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota atau Pihak pengekspor, yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA atas barang yang akan diekspor;b.instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk melakukan sertifikasi eksportir menjadi eksportir bersertifikat;c.instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Pihak pengekspor yang diberikan kewenangan untuk menangani Permintaan Retroactive Check dan/atau Verification Visit;d.instansi yang, menurut hukum dan peraturan domestik dari Negara Anggota, bertanggung jawab atas otorisasi, verifikasi dan isu asal barang lainnya.e.eksportir yang terdaftar dan berstatus aktif di Negara Anggota pengekspor dan berhak untuk menerbitkan DAB dalam skema IA-CEPA; dan/atauf.instansi/pihak lain yang terkait;berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. 10. Permintaan Retroactive Check atau Verifikasi, yang selanjutnya disebut Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi atau Pihak yang Berwenang untuk mendapatkan informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA dan/atau DAB. 11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. 12. Monitoring dan Evaluasi adalah kegiatan pemantauan, pengumpulan, dan pengamatan secara periodik yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai atas pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. 13. Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai di Negara Anggota atau Pihak penerbit SKA dan/atau DAB untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang dan/atau keabsahan SKA dan/atau DAB. 14. Risalah Hasil Analisis Verification Visit yang selanjutnya disebut RHA Verification Visit adalah risalah yang disusun oleh Pejabat Bea dan Cukai secara sistematis berisi alasan utama dilakukannya Verification Visit. 15. Kertas Kerja Verification Visit yang selanjutnya disebut KK Verification Visit adalah catatan yang dibuat oleh tim Verification Visit mengenai hasil pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang didapatkan selama pelaksanaan Verification Visit. 16. Daftar Temuan Sementara Verification Visit yang selanjutnya disebut DTS Verification Visit adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan Verification Visit yang disusun berdasarkan KK Verification Visit. 17. Laporan Verification Visit adalah laporan tertulis yang dibuat oleh tim Verification Visit berdasarkan hasil pelaksanaan Verification Visit. 18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 19. Direktur adalah direktur yang tugas dan fungsinya terkait dengan kerja sama internasional terkait kepabeanan, cukai, dan kerja sama perdagangan bebas. BAB IIMONITORING DAN EVALUASI Pasal 2 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan monitoring dan evaluasi atas pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap implementasi tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. (3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:a.kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; ataub.kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. (4) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. (5) Kegiatan yang dilakukan pada monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi analisis atas:a.kesesuaian atas pemenuhan Ketentuan Asal Barang;b.kesesuaian atas pemenuhan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional;c.pemanfaatan SKA dan/atau DAB, meliputi jumlah SKA dan/atau DAB dan nilai importasi dengan SKA dan/atau DAB dibandingkan dengan nilai importasi keseluruhan;d.SKA dan/atau DAB yang dilakukan Retroactive Check, rejection, dan/atau Verification Visit;e.jawaban atas Retroactive Check atau konfirmasi atas keputusan rejection;f.keputusan penetapan SKA dan/atau DAB yang diajukan keberatan dan/atau banding;g.potensi pelanggaran SKA dan/atau DAB;h.potensi pengalihan rute perdagangan (circumvention) dalam pemanfaatan SKA dan/atau DAB; dani.hal-hal terkait lainnya. (6) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dilaksanakan berdasarkan data dan informasi yang disampaikan oleh unit kerja di wilayah kerja kantor wilayah terkait serta disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 3 (1) Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) harus membuat laporan monitoring dan evaluasi sebagai bahan tindak lanjut kebijakan di bidang pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. (2) Laporan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara berkala tiap semester. (3) Laporan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sewaktu-waktu berdasarkan permintaan dari Direktur. (4) Laporan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:a.paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) di bulan Juli pada tahun berjalan, untuk laporan monitoring dan evaluasi semester pertama; danb.paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) di bulan Januari pada tahun berikutnya, untuk laporan monitoring dan evaluasi semester kedua. (5) Laporan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur. (6) Laporan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan format

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 19/BC/2006

TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-10/BC/2006TENTANG TATA CARA PENYERAHAN DAN PENATAUSAHAAN PEMBERITAHUAN RENCANA KEDATANGANSARANA PENGANGKUT, MANIFES KEDATANGAN SARANA PENGANGKUT,DAN MANIFES KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-10/BC/2006 TENTANG TATA CARA PENYERAHAN DAN PENATAUSAHAAN PEMBERITAHUAN RENCANA KEDATANGAN SARANA PENGANGKUT, MANIFES KEDATANGAN SARANA PENGANGKUT, DAN MANIFES KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT. Pasal 1Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-10/BC/2006 tentang Tata Cara Penyerahan dan Penatausahaan Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-15/BC/2006, diubah sebagai berikut : “Pasal 2 (1)  Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari :a.luar Daerah Pabean; ataub.dalam Daerah Pabean yang mengangkut Barang impor, Barang Ekspor dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke dalam Daerah Pabean lainnya melaluiluar Daerah Pabean,wajib menyerahkan pemberitahuan berupa Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP) kepada Pejabat di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi. (1a)  Kewajiban penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan :a. Untuk sarana pengangkut melalui laut :1)paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sebelum kedatangan Sarana Pengangkut, atau2)paling lambat sebelum kedatangan sarana pengangkut, dalam hal waktu  tempuh kurang dari 24 jam. b. untuk sarana pengangkut melalui udara, paling lambat sebelum kedatangan sarana pengangkut. (2) Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang saran pengangkutnya mempunyai jadwal kedatangan secara teratur dalam suatu periode tertentu, cukup menyerahkan Jadwal Kedatangan Sarana Pengangkut (JKSP) kepada Pejabat di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi paling lambat sebelum kedatangan yang pertama dalam jadwal tertentu. (3) Pengangkut wajib memberitahukan setiap perubahan :a.RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat pada saat kedatangan sarana pengangkut;b.JKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lambat pada saat kedatangan pertama sarana pengangkut. (5) Penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi sarana pengangkut yang datang dari luar Daerah Pabean melalui darat. (6) Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan JKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima dan mendapat nomor pendaftaran di Kantor Pabean merupakan Pemberitahuan Pabean BC 1.0.” “Pasal 4 (1)  Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari :a.luar Daerah Pabean; ataub.dalam Daerah Pabean dengan mengangkut Barang impor, Barang ekspor dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke dalam Daerah Pabean lainnya melalui luar Daerah Pabean,wajib menyerahkan pemberitahuan berupa inward Manifest dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kepada Pejabat di Kantor Pabean. (2)  Kewajiban penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk sarana pengangkut melalui laut dan udara :a. dalam hal melakukan kegiatan pembongkaran barang :1) paling lambat pada saat sebelum melakukan pembongkaran barang; atau2) dalam hal pembongkaran tidak segera dilakukan, paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan untuk sarana pengangkut melalui lautdan paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan untuk sarana pengangkut melalui udara;b. dalam hal tidak melakukan kegiatan pembongkoran barang, tetapi akan melakukan kegiatan pemuatan barang :1) paling lambat pada saat sebelum melakukan pemuatan barang; atau2) dalam hal pemuatan tidak segera dilakukan, paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan untuk sarana pengangkut melalui laut dan 8 (delapan) jam paling lambat sejak kedatangan untuk sarana pengangkut melalui udara; (3)  Kewajiban penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk sarana pengangkut melalui darat, paling lambat pada saat kedatangan sarana pengangkut. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara rinci dalam pos-pos serta dikelompokkan secara terpisah dengan pengelompokan sebagai berikut :a.barang impor yang kewajiban pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat;b.barang impor/peti kemas kosong (empty container) yang akan diangkut lanjut;c.barang impor/peti kemas kosong (empty container) yang akan diangkut terus;d.barang ekspor/peti kemas kosong (empty container) yang dibongkar kemudian diangkut lanjut;e.barang ekspor/peti kemas kosong (empty container) yang akan diangkut terus;f.barang asal Daerah Pabean yang diangkut dari satu Kawasan Pabean ke Kawasan Pabean lainnya melalui luar Daerah Pabean; dan/ataug.Peti kemas kosong (Empty container) yang kewajiban pabeannya diselesaikan di Kantor Pabean setempat. (5) Pos-pos sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat :a.untuk pengangkutan melalui laut dan udara, atas dasar Bill of Lading/Seaway Bill atau Airway Bill;b.untuk pengangkutan melalui darat, atas dasar faktur/ invoice atau surat jalan; dengan uraian barang yang dapat menunjukkan klasifikasi sekurang-kurangnya 4 (empat) digit pos Harmonized System sebagaimana contoh dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal ini. (6) Dalam hal elemen data uraian barang dalam satu pos sebagaimana dimaksud pada ayat (5) lebih dari 5 (lima) jenis barang, pengangkut mencantumkan uraian barang sekurang- kurangnya 5 (lima) jenis barang yang paling besar nilai atau volume barangnya. (7) Selain Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat pada saat kedatangan sarana pengangkut, pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyerahkan Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris secara elektronik atau manual kepada Pejabat di kantor Pabean, berupa:Daftar penumpang dan/atau awak sarana pengangkut;b. Daftar bekal sarana pengangkut;c. Daftar perlengkapan/inventaris sarana pengangkut;d. Stowage Plan atau Bay Plan untuk sarana pengangkut melalui laut;e. Daftar senjata api dan amunisi; danf. Daftar obat-obatan termasuk narkotika yang digunakan untuk kepentingan pengobatan. (7a) Penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak berlaku bagi sarana pengangkut yang datang dari luar Daerah Pabean melalui darat. (7b)  Tata cara penyerahan dan penatausahaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat  (7) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII Peraturan Direktur Jenderal ini. (8) Daftar Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, untuk sarana pengangkut melalui udara diserahkan paling lambat sebelum kedatangan sarana pengangkut. (9)  Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean, apabila sarana pengangkutnya tidak mengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyerahkan pemberitahuan nihil. (10) Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat melakukan pembongkoran barang terlebih dahulu, dan wajib :a.melaporkan keadaan darurat tersebut ke Kantor Pabean terdekat pada kesempatan Pertama; danb.menyerahkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7) paling lama 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran. (11)  Kewajiban penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi sarana pengangkut yang tidak melakukan pembongkoran dan pemuatan barang dan:(1) berlabuh/ lego jangkar paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan untuk sarana pengangkut melalui laut; dan(2) mendarat paling lama 8 (delapan) jam sejak

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 01/BC/2007

TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-81/BC/1999TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENETAPAN NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-81/BC/1999 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENETAPAN NILAI PABEAN UNTUK PEBGHITUNGAN BEA MASUK. Pasal IBeberapa ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Kep-81/BC/1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk, yang telah beberapa kali diubah dengan : “Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan : “BAB IIITATA LAKSANA PENELITIAN DANPENETAPAN NILAI PABEAN Pasal 20 (1) Dalam rangka menetapkan nilai pabean, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemberitahuan nilai pabean yang tertera pada dokumen PIB dan semua dokumen yang menjadi lampirannya. (2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut :a.Penelitian Kewajaran pemberitahuan nilai pabean yang tertera pada PIB;b.Penelitian profil Importir terhadap PIB yang nilai pabeannya tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding barang identik;c.Penelitian pemenuhan ketentuan nilai pabean terhadap PIB yang nilai pabeannya tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding barang identik dan hasil penelitian profil importir menunjukkan kategori importir medium risk;d.Penelitian hasil pemeriksaan fisik, untuk barang-barang yang dilakukan pemeriksaan fisik. (3) Dalam hal hasil pemeriksaan fisik kedapatan jenis dan/atau jumlah tidak sesuai, nilai pabean ditetapkan berdasarkan salah satu metode dari metode II sampai dengan VI sesuai hirarki penggunaannya. (4) Dalam hal hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tidak dapat digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan penelitian nilai pabean, pejabat Bea dan Cukai dapat mengembalikan hasil pemeriksaan fisik tersebut kepada Pemeriksa Barang untuk dilengkapi sehingga dapat menunjukkan jumlah dan jenis barang termasuk spesifikasi barang dengan jelas. (5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap PIB yang wajib dilakukan pemeriksaan fisik maupun yang tidak wajib dilakukan pemeriksaan fisik, kecuali importir jalur prioritas. (6) Terhadap importir jalur prioritas yang melakukan importasi :a.Barang impor sementara;bBarang Re-impor;cBarang yang terkena Nota Hasil Intelijen (NHI);d.Barang tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal, dilakukakan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c dan huruf d. Pasal 21 (1) Penelitian kewajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara membandingkan nilai pabean yang diberitahukan dalam PIB dengan harga barang identik yang terdapat pada Data Base Harga I. (2) Nilai pabean yang diberitahukan dalam PIB dikategorikan :a.Wajar, apabila dalam penelitian kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan bahwa nilai pabean yang diberitahukan kedapatan :– Lebih rendah dibawah 5%– Lebih rendah sebesar 5%– Sama; atau– Lebih besardari harga barang identik pada Data Base Harga I;b.Tidak wajar, apabila dalam penelitian kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan bahwa nilai pabean yang diberitahukan lebih rendah diatas 5% dari harga barang identik pada Data Base Harga I. (3) Dalam hal hasil uji kewajaran, kedapatan :a.nilai pabean wajar maka nilai pabean diterima, kecuali jika kedapatan hasil pemeriksaan fisik menunjukkan jenis dan/atau jumlah barang yang diberitahukan tidak sesuai dengan pemberitahuan.b.nilai pabean tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding barang identik pada DBH I, maka Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian profil importir sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (2) huruf b. Pasal 22 (1) Penelitian profil importir sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara menentukan kategori importir yang nilai pabeannya tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding barang identiknya pada DBH I berdasarkan profil importir yang tersedia. (2) Profil importir dibuat dan diterbitkan oleh Komite yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. (3) Profil importir terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu Importir Low Risk, Importir Medium Risk dan Importir High Risk, yang kriterianya ditentukan oleh Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 23 (1) Dalam hal Nilai Pabean yang diberitahukan tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding harga barang identik dalam DBH I, dan PIB diserahkan oleh Importir Low Risk, maka nilai pabean yang diberitahukan diterima, kecuali jika kedapatan hasil pemeriksaan fisik menunjukkan jenis dan/atau jumlah barang yang diberitahukan tidak sesuai dengan pemberitahuan maka nilai pabean ditetapkan berdasarkan salah satu metode dari Metode II sampai dengan VI sesuai hirarki penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3). (2) Dalam hal Nilai Pabean yang diberitahukan tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding harga barang identik dalam DBH I, dan PIB diserahkan oleh Importir Medium Risk, maka :a.Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan Informasi Nilai Pabean (INP) yang dikirim kepada importir melalui media elektronik, kuasanya atau pos kilat selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya setelah hasil penelitian profil importir menunjukkan kategori importir medium risk.b.Importir wajib menyerahkan Deklarasi Nilai Pabean beserta lampirannya berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi/importasi selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal pengiriman INP kepada Pejabat Bea dan Cukai yang namanya tertera pada INP.c.Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian pemenuhan ketentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf c terhadap Deklarasi Nilai Pabean (DNP), dokumen-dokemen lain yang terkait dengan importasi barang yang sedang diteliti nilai pabeannya, meliputi : 1)identifikasi apakah barang impor merupakan subyek transaksi jual beli;2)meneliti persyaratan nilai transaksi jual beli sebagai dimaksud dalam pasal 6; dan3)meneliti unsur yang seharusnya ditambahkan pada dan/atau dikurangkan dari nilai transaksi.d.dalam hal DNP tidak diserahkan dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, nilai pabean ditetapkan berdasarkan salah satu metode dari Metode II sampai dengan VI sesuai hirarki penggunaannyae.Bentuk INP diatur dalam Lampiran VIII Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-81/BC/1999.f.DNP serta tata cara pengisian DNP diatur dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini. (3) Dalam hal Nilai Pabean yang diberitahukan tidak wajar atau tidak ditemukan data pembanding harga barang identik dalam DBH I, dan PIB diserahkan oleh Importir High Risk, maka Pejabat Bea dan Cukai menetapkan nilai pabean berdasarkan salah satu metode dari Metode II sampai dengan VI sesuai hirarki penggunannya Pasal 24 (1) Dalam hal hasil penelitian pemenuhan ketentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) terhadap Importir Medium Risk, menunjukkan bahwa :a.barang impor merupakan subyek transaksi jual beli;b.persyaratan nilail transaksi jual beli sebagai dimaksud dalam pasal 6 dipenuhi; danc.unsur yang seharusnya ditambahkan pada dan/atau dikurangkan dari nilai transaksi dapat dihitung dan didasarkan data yang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P – 11/BC/2007

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 11/BC/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NOMOR POKOKPENGUSAHA BARANG KENA CUKAI UNTUK PENGUSAHA PABRIK ETIL ALKOHOLDAN PENGUSAHA TEMPAT PENYIMPANAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan No. 48/PMK.04/2007 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol dan Pengusaha Tempat Penyimpanan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tata Cara Pemberian, Pencabutan, dan Perubahan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai untuk Pengusaha Pabrik Etil Alkohol dan Pengusaha Tempat Penyimpanan; Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI UNTUK PENGUSAHA PABRIK ETIL ALKOHOL DAN PENGUSAHA TEMPAT PENYIMPANAN. Pasal 1Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan : Pasal 2Untuk kepentingan pengawasan Barang Kena Cukai dan penerimaan negara, Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang telah mendapat izin dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang perindustrian dan/atau perdagangan, wajib memiliki NPPBKC. Pasal 3 (1)  Untuk memperoleh NPPBKC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Kepala kantor Pelayanan dengan disertai gambar denah lokasi/bangunan/tempat usaha untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka pemenuhan persyaratan fisik. (2)  Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan menugaskan Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan lokasi/bangunan/tempat usaha. (3)  terhadap hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai membuat Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai dan Pengusaha atau kuasanya. (4) Dalam hal persyaratan fisik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan nomor 48/PMK.04/2007 dipenuhi, Pengusaha pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha tempat Penyimpanan khusus pencampuran mengajukan permohonan untuk mendapatkan NPPBKC kepada Menteri keuangan c.q. kepala Kantor pelayanan dengan menggunakan format PMCK-6. (5) Dalam hal persyaratan fisik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri keuangan Nomor 48/PMK.04/2007 tidak dipenuhi, Kepala Kantor pelayanan memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan kepada Pengusaha pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran. (6) pelaksanaaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. Pasal 4 (1)  Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dilampiri persyaratan administrasi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.04/2007. (2)  Dalam hal persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pemberian NPPBKC sebagai Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran beserta lampirannya berupa NPPBKC. (3)  Dalam hal persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Kepala Kantor Pelayanan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga Puluh) hari. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Kepala Kantor Pelayanan mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. (5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada pemohon dan salinannya disampaikan kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah. Pasal 5 (1)  Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat dicabut jika pemilik NPPBKC atau pabrik Etil Alkohol, Tempat Penyimpanan, dan Tempat Penyimpanan khusus pencampuran telah memenuhi ketentuan pencabutan yang ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.04/2007. (2)  Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri Keuangan dengan menetapkan Keputusan Pencabutan NPPBKC. (3)  Pencabutan Keputusan Menteri keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap Pengusaha Pabrik Etil alkohol, Pengusaha tempat Penyimpanan, atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang tidak melakukan kegiatan selama satu tahun dikarenakan :Dilakukan renovasi; atauTerjadi bencana alam. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Pelayanan paling lambat 7(tujuh) hari :Sebelum melakukan renovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; atauSetelah terjadinya bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terjadi. (5) Keputusan Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pemilik NPPBKC bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah. Pasal 6 (1)  Berdasarkan keputusan Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan melakukan pencacahan untuk memastikan jumlah etil alkohol yang belum dilunasi cukainya di Pabrik Etil Alkohol, Tempat Penyimpanan, atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran. (2)  Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Keputusan Pencabutan diterima oleh pemilik NPPBKC, terhadapa etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut :dilunasi cukainya dan dikeluarkan oleh pemilik NPPBKC;ataudipindahkan ke Pabrik Etil Alkohol atau Tempat Penyimpanan lainnya atau diekspor. (3)  Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, etil alkohol wajib dimusnahkan oleh Kepala Kantor Pelayanan atas biaya pemilik Barang Kena Cukai. Pasal 7 (1)  Perubahan nama perusahaan, kepemilikan perusahaan, lokasi/bangunan Pabrik Etil Alkohol, Tempat Penyimpanan atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang tercantum dalam NPPBKC hanya dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri Keuangan. (2)  Pengusaha Pabrik Etil Alkohol, Pengusaha Tempat Penyimpanan atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengajukan permohonan perubahan NPPBKC kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala Kantor Pelayanan. (3)  Dalam hal persyaratan permohonan diterima secara lengkap dan benar, Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak permohonan diterima, menetapkan Keputusan Perubahan NPPBKC. (4) Dalam hal persyaratan permohonan diterima secara tidak lengkap atau tidak benar, Kepala Kantor Pelayanan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Kepala Kantor Pelayanan mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. (6) Keputusan sebagaimana dimaksud