Taxco
Solution

Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER – 16/BC/2023

PENGELOLAAN BARANG YANG DINYATAKAN TIDAK DIKUASAI, BARANG YANG DIKUASAI NEGARA, DAN BARANG YANG MENJADI MILIK NEGARA DITEMPAT PENIMBUNAN PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PENGELOLAAN BARANG YANG DINYATAKAN TIDAK DIKUASAI, BARANG YANG DIKUASAI NEGARA, DAN BARANG YANG MENJADI MILIK NEGARA DI TEMPAT PENIMBUNAN PABEAN. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: BAB IITEMPAT PENIMBUNAN PABEAN Bagian KesatuRuang Lingkup TPP Pasal 2 (1) Di setiap Kantor Pelayanan disediakan TPP yang dikelola oleh DJBC. (2) Dalam hal pada Direktorat P2 dan Kantor Wilayah terdapat kegiatan pengelolaan BDN dan BMMN, TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disediakan di Direktorat P2 dan Kantor Wilayah. (3) TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:lapangan penimbunan;gudang penimbunan;tangki penimbunan; dan/atautempat penimbunan lainnya. (4) TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk menyimpan:BTD;BDN; dan/atauBMMN. (5) BDN dan BMMN yang berasal dari pelanggaran di bidang cukai berdasarkan Undang-Undang di Bidang Cukai dapat disimpan di TPP. Bagian KeduaPenetapan TPP dan TLB-TPP Pasal 3 (1) Penetapan TPP dilakukan oleh Direktur P2, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri. (2) TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlokasi di dalam dan/atau di luar area Kantor Pusat, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan. (3) Bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu yang ditetapkan sebagai TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh pemerintah berupa aset yang dimiliki atau dikuasai oleh DJBC. (4) Penetapan TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memenuhi persyaratan sebagai berikut:memiliki papan nama TPP;memiliki batas-batas yang jelas;memiliki tata letak yang jelas;terdapat tempat penyimpanan barang;tersedia sarana dan peralatan penunjang pelaksanaan kegiatan TPP, misalnya Closed Circuit Television (CCTV);memiliki sistem pencatatan barang secara elektronik;terdapat ruang kerja untuk petugas Bea dan Cukai (mini office); danterdapat tempat pencacahan atau pemeriksaan barang. (5) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g dan huruf h dapat disesuaikan dengan ketersediaan ruangan di TPP. (6) Penetapan TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan keputusan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. (7) Keputusan mengenai penetapan sebagai TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku sampai dengan keputusan tersebut dicabut. (8) Penyimpanan BTD di TPP dipungut sewa gudang sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Keuangan. (9) Direktur P2, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan dapat bekerja sama dengan pihak lain dalam mengelola BTD, BDN, dan BMMN di TPP. (10) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dengan menggunakan mekanisme kegiatan jasa pra lelang. Pasal 4 (1) Direktur P2, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan atas nama Menteri dapat menetapkan bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu sebagai TLB-TPP. (2) Penetapan TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:Direktorat P2, Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan tidak memiliki TPP atau TPP yang tersedia tidak mencukupi; dan/atausifat, jenis, dan/atau kondisi BTD, BDN, dan/atau BMMN tidak memungkinkan untuk disimpan di TPP yang tersedia, seperti barang yang dikemas dalam peti kemas berpendingin, kapal laut, pesawat udara, dan barang berupa mesin yang terpasang di kawasan berikat. (3) TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di dalam TPS dan keberadaan barang tetap menjadi tanggung jawab pengusaha TPS. (4) TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4). (5) Penetapan TLB-TPP didahului dengan dilakukan pemeriksaan lokasi dan hasil pemeriksaan lokasi dituangkan dalam berita acara dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. (6) Penetapan TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan keputusan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. (7) Keputusan mengenai penetapan TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku:paling lama 5 (lima) tahun sejak ditetapkan, dalam hal penguasaan bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun;paling lama sampai dengan jangka waktu penguasaan, dalam hal penguasan bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain kurang dari 5 (lima) tahun; atausampai dengan penyelesaian BTD, BDN, dan/atau BMMN atau pemindahan BTD, BDN, dan/atau BMMN ke TPP atau TLB-TPP lain untuk TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (8) Dalam hal penetapan TLB-TPP berdasarkan permohonan oleh pengusaha tempat penimbunan, keputusan atas permohonan penetapan TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemeriksaan lokasi. (9) TLB-TPP berdasarkan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) minimal harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan persyaratan administratif berupa dokumen perjanjian kerja sama yang antara lain memuat:hak dan kewajiban antara penyedia tempat penimbunan dan Kantor Pelayanan, Kantor Wilayah, atau Direktorat P2;dokumen yang dipersyaratkan dalam perjanjian kerja sama seperti bukti kepemilikan atau penguasaan; dan/atauhal-hal lain berupa ketentuan yang perlu diatur dalam perjanjian kerja sama sesuai kebutuhan. (10) Tata kerja penetapan TLB-TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Bagian KetigaPenggunaan TPP atau TLB-TPP Secara Bersama-Sama Pasal 5 (1) Untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas, unit kerja yang terdiri dari Direktorat P2, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan dapat menggunakan TPP atau TLB-TPP secara bersama-sama. (2) Penggunaan TPP atau TLB-TPP secara bersama-sama harus mendapat persetujuan dari unit kerja pengelola TPP atau TLB-TPP. (3) Pengelola TPP atau TLB-TPP bertanggung jawab terhadap keberadaan fisik BTD, BDN, dan/atau BMMN yang disimpan di TPP atau TLB-TPP yang digunakan secara bersama-sama. (4) Unit kerja yang menyatakan status BTD, menetapkan status BDN, dan/atau menetapkan status BMMN bertanggung jawab terhadap administrasi dan penyelesaian atas BTD, BDN, dan/atau BMMN yang disimpan di TPP atau TLB-TPP yang digunakan secara bersama-sama. (5) Penyerahan barang kepada unit kerja pengelola TPP atau TLB-TPP yang digunakan secara bersama-sama, dituangkan dalam berita acara serah terima menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. (6) Penggunaan TPP atau TLB-TPP secara bersama-sama dilakukan dengan ketentuan:dilakukan pencatatan secara

Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER – 12/BC/2016

PEMERIKSAAN FISIK BARANG IMPOR DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.04/2007 tentang Tatalaksana Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/PMK.04/2015; MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PEMERIKSAAN FISIK BARANG IMPOR. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: BAB IIRUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Terhadap barang Impor dapat dilakukan Pemeriksaan Fisik. (2) Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Fisik. (3) Tujuan Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dalam rangka memperoleh data barang secara lengkap agar dapat dipergunakan untuk:menetapkan klasifikasi dan nilai pabean dengan benar;menemukan adanya barang yang tidak diberitahukan;menemukan adanya uraian barang yang tidak jelas/tidak benar;menemukan kesalahan pemberitahuan negara asal barang; dan/ataukepentingan lain dalam rangka pemenuhan kewajiban pabean antara lain untuk keperluan perpajakan atau pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan. Pasal 3Pemeriksaan Fisik dapat dilakukan di lapangan dan/atau gudang pada: Pasal 4 (1) Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat menggunakan pemindai Peti Kemas dalam hal pada Kantor Pabean tersedia pemindai Peti Kemas. (2) Pemeriksaan Fisik dengan menggunakan pemindai Peti Kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:barang yang diimpor oleh importir berisiko rendah yang terkena pemeriksaan acak;barang yang pengeluarannya ditetapkan jalur merah namun hanya terdiri dari 1 (satu) jenis barang dan 1 (satu) pos tarif, yang berdasarkan pertimbangan dari Pejabat Bea dan Cukai yang menangani pelayanan pabean dapat diperiksa dengan pemindai Peti Kemas;barang dalam Peti Kemas berpendingin;barang yang berdasarkan analisis intelijen ditetapkan untuk diperiksa melalui pemindai Peti Kemas;barang peka udara; ataubarang lainnya yang berdasarkan pertimbangan Pejabat Bea dan Cukai dapat dilakukan pemeriksaan melalui pemindai Peti Kemas. (3) Pemeriksaan Fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap:barang peka cahaya;barang mengandung zat radioaktif;barang lainnya yang karena sifatnya dapat menjadi rusak apabila dilakukan pemindaian;barang terkena pemeriksaan melalui pemindai Peti Kemas yang dimohonkan oleh importir untuk tidak dilakukan pemeriksaan melalui pemindai Peti Kemas; ataubarang terkena pemeriksaan melalui pemindai Peti Kemas yang berdasarkan pertimbangan Pejabat Bea dan Cukai yang menangani analisis pemindaian Peti Kemas perlu dilakukan Pemeriksaan Fisik oleh Pejabat Pemeriksa Fisik. BAB IIITATA CARA PEMERIKSAAN FISIK Pasal 5 (1) Pemeriksaan Fisik atas barang Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan tingkat pemeriksaan yang ditentukan berdasarkan manajemen risiko. (2) Tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:10% (sepuluh persen), untuk barang yang diimpor oleh importir dengan tingkat risiko rendah; atau 30% (tiga puluh persen), untuk barang yang diimpor oleh importir dengan tingkat risiko menengah dan tinggi. (3) Tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh S KP. (4) Dalam hal belum dapat ditentukan oleh SKP, tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen. (5) Tata kerja Pemeriksaan Fisik dilaksanakan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 6 (1) Pemeriksaan Fisik atas barang Impor dalam Peti Kemas dengan tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:dalam hal Peti Kemas berjumlah 5 (lima) atau kurang:10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah kemasan yang diberitahukan, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 10% (sepuluh puluh persen); atau30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah kemasan yang diberitahukan, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 30% (tiga puluh persen).dalam hal jumlah Peti Kemas lebih dari 5 (lima):10% (sepuluh persen) dari seluruh jumlah Peti Kemas yang diberitahukan dengan jumlah minimal 1 (satu) Peti Kemas, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 10% (sepuluh puluh persen); atau30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah Peti Kemas yang diberitahukan dengan jumlah minimal 1 (satu) Peti Kemas, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 30% (tiga puluh persen). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penghitungan tingkat pemeriksaan 10% (sepuluh puluh persen) atau 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kurang dari 2 (dua) kemasan, kemasan yang diperiksa minimal 2 (dua) kemasan. (3) Dalam hal Peti Kemas berjumlah 1 (satu) dan hanya terdapat 1 (satu) kemasan, Pemeriksaan Fisik dilakukan hanya terhadap 1 (satu) kemasan tersebut. (4) Dalam hal terdapat permohonan importir untuk tidak dilakukan pemeriksaan melalui pemindai Peti Kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d, tingkat Pemeriksaan Fisik dilaksanakan sesuai ketentuan ayat (1) dan ayat (2). (5) Penentuan nomor Peti Kemas yang akan diperiksa dilakukan oleh SKP. (6) Dalam hal belum dapat ditentukan oleh SKP, penentuan nomor Peti Kemas yang akan diperiksa dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen. (7) Dalam hal jumlah kemasan dari Peti Kemas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a belum memenuhi persentase tingkat pemeriksaan yang ditetapkan, Pejabat Pemeriksa Fisik menentukan Peti Kemas lainnya untuk diperiksa. Pasal 7 (1) Pemeriksaan Fisik atas barang Impor dalam kemasan yang tidak menggunakan Peti Kemas, dengan tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:10% (sepuluh puluh persen) dari seluruh jumlah kemasan yang diberitahukan, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 10% (sepuluh puluh persen); atau30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah kemasan yang diberitahukan, untuk tingkat Pemeriksaan Fisik 30% (tiga puluh persen). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penghitungan tingkat pemeriksaan 10% (sepuluh puluh persen) atau 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari 2 (dua) kemasan, kemasan yang diperiksa minimal 2 (dua) kemasan. (3) Dalam hal kemasan yang akan dilakukan Pemeriksaan Fisik berjumlah 1 (satu), pemeriksaan dilakukan hanya terhadap 1 (satu) kemasan tersebut. Pasal 8 (1) Dalam hal barang Impor yang dikemas dalam kemasan yang bernomor, Pejabat Pemeriksa Dokumen dapat menunjuk nomor kemasan dalam daftar kemasan (packing list) dan/atau pemberitahuan pabean Impor yang harus diperiksa oleh Pejabat Pemeriksa Fisik. (2) Dalam hal Pejabat Pemeriksa Dokumen tidak melakukan penunjukan nomor kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau barang Impor dikemas dalam kemasan yang tidak bernomor, penunjukkan kemasan yang harus dilakukan Pemeriksaan Fisik ditentukan oleh Pejabat Pemeriksa Fisik. (3) Jumlah kemasan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai tingkat Pemeriksaan Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (4) Penunjukkan kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) didasarkan pada keahlian (professional judgement). Pasal 9 (1) Pelaksanaan Pemeriksaan Fisik dilakukan dengan mendasarkan pada daftar kemasan (packing list) yang telah di tandasahkan oleh petugas penerima dokumen. (2)

Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER – 30/BC/2016

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAANPENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Mengingat : MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI. Pasal IBeberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai, diubah sebagai berikut: 1. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 31 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (la) sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1)Terhadap PIB yang telah mendapatkan nomor pendaftaran, Pejabat melakukan penelitian terhadap tarif dan nilai pabean yang diberitahukan.(1a)Dalam hal PIB diajukan oleh AEO dan/atau Mitra Utama Kepabeanan, penelitian terhadap tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila atas PIB dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil jumlah dan/atau jenis barang tidak sesuai.(2)Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB.(3)Tata cara penelitian tarif dan nilai, pabean dilaksanakan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penetapan tarif dan nilai pabean.     2. Mengubah ketentuan Pasal 41 sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 Terhadap PIB yang diajukan dan telah mendapatkan nomor pendaftaran sampai dengan tanggal pada Kantor Pabean sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2009.     3. Mengubah ketentuan Pasal 43 sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:a.Ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-07/BC/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor sebagaimana telah diubah terakhir dengan peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-06/BC/2007, sepanjang telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini;b.Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-21/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok sebagaimana telah diubah dengan peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-25/BC/2007, sepanjang telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini; danc.Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2009,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal IIPeraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di JakartaPada tanggal 28 Juli 2016DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -ttd- HERU PAMBUDI

Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER – 14/BC/2023

TENTANG PETUNJUK TEKNIS DALAM RANGKA PEMBERIAN, PEMBEKUAN, DAN PENCABUTAN NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang :  bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 dan Pasal 72 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.04/2018 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.04/2018 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal tentang Petunjuk Teknis Dalam Rangka Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Mengingat :   MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PETUNJUK TEKNIS DALAM RANGKA PEMBERIAN, PEMBEKUAN, DAN PENCABUTAN NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: BAB IITATA CARA PENYAMPAIAN, BENTUK, DAN CARAPENGISIAN DATA REGISTRASI PENGUSAHA BARANGKENA CUKAI Pasal 2 (1) Setiap Orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai:a.Pengusaha Pabrik;b.Pengusaha Tempat Penyimpanan;c.Importir barang kena cukai;d.Penyalur; dan/ataue.engusaha Tempat Penjualan Eceran,wajib memiliki NPPBKC. (2) Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai bersamaan dengan permohonan untuk memperoleh NPPBKC melalui Sistem Aplikasi di Bidang Cukai. Pasal 3 (1) Pengusaha Barang Kena Cukai harus melakukan perubahan pada Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai melalui Sistem Aplikasi di Bidang Cukai, dalam hal terdapat perubahan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai. (2) Sistem Aplikasi di Bidang Cukai memberikan tanda terima kepada Orang yang menyampaikan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai atau Pengusaha Barang Kena Cukai yang menyampaikan perubahan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai. Pasal 4Dalam hal Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau perubahan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak dapat disampaikan melalui Sistem Aplikasi di Bidang Cukai: Pasal 5 (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai dapat melakukan penelitian terhadap Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai. (2) Berdasarkan hasil penelitian Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai, Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan perubahan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai dalam hal terdapat ketidaksesuaian. Pasal 6 (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menggunakan Data Registrasi Pengusaha Barang Kena Cukai untuk menyusun database Pengusaha Barang Kena Cukai. (2) Kepala Kantor Bea dan Cukai membuat profil risiko Pengusaha Barang Kena Cukai berdasarkan database Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IIITATA CARA PEMBERLAKUANIZIN TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT SEBAGAI NPPBKC Pasal 7 (1) Dalam hal Orang yang wajib memiliki NPPBKC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, izin Tempat Penimbunan Berikat diberlakukan sebagai NPPBKC. (2) Pemberlakuan izin Tempat Penimbunan Berikat sebagai NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai;Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a; danKepala Kantor Bea dan Cukai memberikan nomor NPPBKC kepada Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat. (3) Pemberian nomor NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan untuk pemenuhan hak dan kewajiban Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat di bidang Cukai. (4) Tata cara pemberlakuan izin Tempat Penimbunan Berikat sebagai NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. BAB IVPEMAPARAN PROSES BISNIS Pasal 8 (1) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), harus melakukan pemaparan proses bisnis kepada:a.Kepala Kantor Bea dan Cukai; dan/ataub.Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk,yang mengawasi lokasi, bangunan, atau tempat usaha yang akan digunakan. (2) Penyampaian pemaparan proses bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh pemilik atau penanggung jawab perusahaan. (3) Atas penyampaian pemaparan proses bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berita acara pemaparan proses bisnis dan penilaiannya. (4) Tata cara pemaparan proses bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berita acara pemaparan proses bisnis dan penilaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. BAB VPENOMORAN NPPBKC Pasal 9 (1) Nomor yang dipergunakan sebagai tanda pengenal atau identitas Pengusaha Barang Kena Cukai dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Cukai berupa NPWP Pengusaha Barang Kena Cukai. (2) Selain diberikan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Barang Kena Cukai juga diberikan NILKU. (3) NILKU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:a.kode Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi lokasi, bangunan, atau tempat usaha Pengusaha Barang Kena Cukai;b.kode jenis usaha Pengusaha Barang Kena Cukai; danc.kode jenis barang kena cukai,sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. BAB VIPERPANJANGAN NPPBKC PENYALUR DAN TEMPATPENJUALAN ECERAN Pasal 10 (1) Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran yang akan memperpanjang NPPBKC, harus mengajukan permohonan perpanjangan NPPBKC sebelum masa berlaku NPPBKC berakhir. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan paling cepat 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku NPPBKC berakhir dan paling lambat sampai dengan sebelum masa berlaku NPPBKC berakhir. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri u.p. Kepala Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Tempat Usaha Penyalur atau Tempat Penjualan Eceran. (4) Selain mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran harus menyerahkan salinan atau fotokopi izin usaha dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan, penanaman modal atau pariwisata. (5) Pejabat Bea dan Cukai memberikan tanda terima kepada Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran yang mengajukan permohonan perpanjangan NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 11 (1) Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran dilarang menjalankan kegiatan usaha di bidang Cukai dalam hal masa berlaku NPPBKC berakhir dan belum terbitnya keputusan perpanjangan NPPBKC setelah diajukan permohonan perpanjangan NPPBKC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang. (3) Dalam hal Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran dilarang menjalankan kegiatan usaha di bidang Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas barang kena cukai yang berada di tempat usaha Penyalur atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran dapat dilakukan penyegelan oleh Pejabat

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P – 14/BC/2007

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 14/BC/2007 TENTANG TATA CARA PENCAMPURAN DAN PERUSAKAN ETIL ALKOHOL YANG MENDAPAT PEMBEBASAN CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (13) dan Pasal 11 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Cukai perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tata Cara Pencampuran dan Perusakan Etil Alkohol yang Mendapat Pembebasan Cukai; Mengingat : MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA CARA PENCAMPURAN DAN PERUSAKAN ETIL ALKOHOL YANG MENDAPAT PEMBEBASAN CUKAI. BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: BAB IIPENCAMPURAN ETIL ALKOHOL SEBAGAI BAHAN BAKU ATAU BAHAN    PENOLONG DALAM PEMBUATAN BARANG HASIL AKHIR YANG BUKAN MERUPAKANBARANG KENA CUKAI                 Pasal 2 (1)  Pencampuran etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir yang bukan merupakan Barang Kena Cukai yang mendapat pembebasan cukai dilakukan dengan cara mencampur etil alkohol dengan bahan pencampur sehingga tidak baik untuk diminum. (2)  Pencampuran etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan :untuk etil alkohol produksi dalam negeri dilakukan di Pabrik etil alkohol atau di Tempat Penyimpanan khusus pencampuran;atauuntuk etil alkohol asal impor dilakukan di Kawasan Pabean. (3)  Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir etil alkohol yang mencampur etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pemisahan secara tegas dengan batas-batas yang jelas wadah/tangki dan ruangan untuk menyimpan etil alkohol yang belum dicampur dengan etil alkohol yang telah dicampur dengan bahan pencampur. (4) Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang mencampur etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus memiliki ruang laboratorium berikut peralatan yang memadai. Pasal 3 (1)  Pelaksanaan pencampuran etil alkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan dengan menggunakan jenis bahan pencampur sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini. (2)  Jenis bahan pencampur disesuaikan dengan jenis Barang Hasil Akhir yang akan diproduksi. (3)  Bahan pencampur disediakan oleh Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus Pencampuran, atau Importir etil alkohol. Pasal 4 (1)  Untuk melakukan pencampuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran atau Importir etil alkohol wajib memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan tentang waktu pelaksanaan pencampuran. (2)  Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan menugaskan Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pencampuran. (3)  Pelaksanaan pencampuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat Berita Acara Pencampuran Etil Alkohol dengan menggunakan format BACK-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal ini. (4) Bendaharawan mencatat dalam :buku Rekening Barang Kena Cukai jumlah etil alkohol sebelum dicampur dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang bersangkutan.buku Rekening Barang Kena Cukai hasil pencampuran etil alkohol dari Pabrik, Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, dan Importir etil alkohol (BCK-12) sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal ini berdasarkan BACK-7. (5) Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran atau Importir etil alkohol wajib menyelenggarakan Buku Persediaan Etil Alkohol Yang Sudah Dicampur (BCK-14) sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 5 (1)  Etil alkohol sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) yang pencampurannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini, wajib dilunasi cukainya. (2)  etil alkohol yang telah dicampur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), apabila disuling ulang (redestilasi) atau dipisahkan bahan pencampurnya, baik seluruhnya maupun sebagaian wajib dilunasi cukainya dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Pasal 6Pengeluaran etil alkohol yang telah dicampur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dari Pabrik, Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, atau Kawasan Pabean dilakukan dengan mengajukan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasi dengan menggunakan dokumen pelindung CK-10 atau CK-11. Pasal 7Kepala Kantor Pelayanan wajib menyampaikan laporan bulanan tentang pengeluaran dan pencampuran etil alkohol sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir yang bukan merupakan Barang Kena Cukai kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan format LACK-10 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal ini. BAB IIIPERUSAKAN ETIL ALKOHOL MENJADI SPIRITUS BAKAR(BRAND SPIRITUS)                        Pasal 8 (1)  Perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) yang mendapat pembebasan cukai dilakukan dengan cara merusak etil alkohol dengan bahan perusak sehingga tidak baik untuk diminum. (2)  Perusakan etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Pabrik, Tempat Penyimpanan, atau Tempat Penyimpanan khusus pencampuran. (3)  Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran yang merusak etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib melakukan pemisahan secara tegas dengan batas-batas yang jelas wadah/tangki dan ruangan untuk menyimpan etil alkohol yang belum dirusak dengan etil alkohol yang telah dirusak dengan bahan perusak. (4) Untuk melakukan perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan atau Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasi dengan menggunakan format PMCK-4 dengan tembusan kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah. (5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini, Kepala Kantor Pelayanan memberikan persetujuan secara tertulis. (6) Atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan segera meneruskannya kepada Bendaharawan dan menunjuk Pejabat Bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan pelaksanaan perusakan etil alkohol menjadi Spiritus Bakar (Brand Spiritus). (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II, Kepala Kantor Pelayanan menyampaikan surat penolakan disertai alasan yang jelas. (8) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disampaikan kepada Pemohon dengan tembusan kepada Direktur Cukai dan Kepala Kantor Wilayah. Pasal 9 (1)  Pelaksanaan perusakan etil alkohol menjadi spiritus bakar (brand spiritus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), dilakukan dengan menggunakan jenis bahan perusak sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini. (2)  Bahan perusak disediakan oleh Pengusaha Pabrik, pengusaha Tempat Penyimpanan, atau PengusahaTempat Penyimpanan khusus pencampuran. (3)  Pelaksanaan perusakan etil alkohol sebagaimana

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 13/BC/2007

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P – 13/BC/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN CUKAI ETIL ALKOHOL DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa dalam rangka menyederhanakan prosedur pemberian fasilitas pembebasan cukai etil alkohol dan melaksanakan ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Cukai, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan Cukai Etil Alkohol; Mengingat : MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN  CUKAI ETIL ALKOHOL. Pasal 1 Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan : Pasal 2 Pembebasan cukai etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan Barang Hasil Akhir dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini. Pasal 3 Pembebasan cukai etil alkohol yang digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini Pasal 4 Pembebasan cukai etil alkohol yang digunakan untuk tujuan sosial dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal ini Pasal 5 1)  Pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, dan Importir etil alkohol yang digunakan oleh produsen Barang Hasil Akhir. 2)  untuk memperoleh pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir etil alkohol mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala kantor Pelayanan yang mengawasi pabrik Barang Hasil Akhir. 3)  Dalam hal etil alkohol berasal dari luar negeri, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan tempat pemasukan etil alkohol. 4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk pertama kali harus dilampiri dengan :a.kopi surat atau izin produsen Barang Hasil Akhir yang ditandasahkan oleh pejabat dari instansi terkait, yaitu :1) Izin usaha industri dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian, perdagangan, dan/atau kesehatan atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).2) rekomendasi dari instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan/ pengawasan obat dan makanan terhadap produk tertentu yang diharuskan mendapat izin dari instansi yang bersangkutan.b.kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) produsen Barang Hasil Akhir;c.kopi akte pendirian usaha apabila produsen Barang Hasil Akhir merupakan badan hukum;d.Berita Acara Pemeriksaan Lokasi pabrik Barang Hasil Akhir dari Kantor Pelayanan yang mengawasi dilengkapi gambar denah/lokasi pabrik; rencana kebutuhan etil alkohol dalam satu tahun takwim, meliputi :1) jenis dan jumlah Barang Hasil Akhir yang diproduksi setiap bulan dan dalam satu tahun takwim;2) banyaknya etil alkohol yang dibutuhkan untuk setiap unit/satuan barang.e.uraian tentang alur proses produksi dan penggunaan etil alkohol dalam proses pembuatan Barang Hasil Akhir; danf.contoh Barang Hasil Akhir yang diproduksi. 5) Dalam hal persyaratan permohonan telah dipenuhi, Keputusan Pembebasan Cukai Etil Alkohol diberikan oleh Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai atas nama Menteri Keuangan. 6) Dalam hal persyaratan permohonan tidak dipenuhi, Direktur Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari. 7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai  mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. Pasal 6 (1)  Pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, dan Importir etil alkohol yang digunakan oleh badan/lembaga resmi pemerintah. (2)  Untuk memperoleh pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir etil alkohol mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasi badan/lembaga resmi pemerintah. (3)  Dalam hal etil alkohol berasal dari luar negeri, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan tempat pemasukan etil alkohol. (4) Permohonan pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pertama kali harus dilampiri dengan :a.rekomendasi dari kepala badan/lembaga resmi pemerintah atau instansi setempat yang lingkup tugasnya membawahi badan/lembaga resmi pemerintah yang mengajukan permohonan pembebasan.b.Berita Acara Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan yang mengawasi dilengkapi gambar denah/lokasi tempat penimbunan etil alkohol ditempat badan/lembaga resmi pemerintah yang bersangkutan.c.rencana kebutuhan etil alkohol dalam satu tahun takwim. (5) Dalam hal persyaratan permohonan telah dipenuhi, Keputusan Pembebasan Cukai Etil Alkohol diberikan oleh Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai atas nama Menteri Keuangan. (6) Dalam hal persyaratan permohonan tidak dipenuhi, Direktur Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari. (7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. Pasal 7 (1)  Pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, diberikan kepada Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, dan Importir etil alkohol yang digunakan oleh rumah sakit. (2)  Untuk memperoleh pembebasan cukai etil alkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat penyimpanan, Pengusaha Tempat Penyimpanan khusus pencampuran, atau Importir etil alkohol mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pelayanan yang mengawasi rumah sakit. (3)  Dalam hal etil alkohol berasal dari luar negeri, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan tempat pemasukan etil alkohol. (4) Permohonan pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pertama kali harus dilampiri dengan :a.Berita Acara Pemeriksaan Lokasi dari Kantor Pelayanan yang mengawasi dilengkapi denah/lokasi tempat penimbunan etil alkohol pada rumah sakit yang bersangkutan.b.rencana kebutuhan etil alkohol dalam satu tahun takwim. (5) Dalam hal persyaratan permohonan telah dipenuhi, Keputusan Pembebasan Cukai Etil Alkohol diberikan oleh Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai atas nama Menteri Keuangan. (6) Dalam hal persyaratan permohonan tidak dipenuhi, Direktur Cukai memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari. (7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pemohon tidak melengkapi kekurangan persyaratan atau memperbaiki data permohonan, Direktur Jenderal u.b. Direktur Cukai mengeluarkan surat pemberitahuan penolakan yang memuat alasan penolakan. Pasal 8 Jangka waktu proses penelitian dan penyelesaian permohonan pembebasan cukai secara hirarki ditetapkan : Pasal 9 Pasal 10 Jumlah etil alkohol yang akan diberikan pembebasan dihitung dengan mempertimbangkan kebutuhan