PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 111 TAHUN 2000
TENTANG
PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988);
MEMUTUSKAN :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
-
Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
-
Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
1 |
Nilai Perolehan Objek Pajak karena waris dan hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. |
2 |
Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. |
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota hanya dapat melakukan pendaftaran perolehan hak karena waris dan hibah wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Keuangan.
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3707), dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 213
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 111 TAHUN 2000
TENTANG
PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000disebutkan bahwa perolehan hak karena waris dan hibah wasiat merupakan objek pajak. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan saat perolehan hak karena waris menjadi objek pajak.
Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk objek pajak yang dikenakan pajak.
Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi yang tidak mampu. Disamping orang pribadi, penerima hibah wasiat juga berupa badan yang biasanya mempunyai kegiatan pelayanan kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.
Oleh karena ahli waris dan penerima hibah wasiat memperoleh hak secara cuma-cuma, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena waris dan hibah wasiat perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh 1
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
– | Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 250.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 300.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | N i h i l |
– | BPHTB terutang | N i h i l |
Contoh 2
Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
– | Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 800.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 300.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 500.000.000,00 |
– | BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 500.000.000,00 | = Rp 25.000.000,00 |
– | BPHTB terutang = 50% x Rp 25.000.000,00 | = Rp 12.500.000,00 |
Contoh 3
Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai JuaI Objek Pajak sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat JenderaI Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
– | Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 500.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 300.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 200.000.000,00 |
– | BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 200.000.000,00 | = Rp 10.000.000,00 |
– | BPHTB yang terutang = 50% x Rp 10.000.000,00 | = Rp 5.000.000,00 |
Contoh 4
Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseorang sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp 900.000.000,00. Apabila di Kabupaten/Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 60.000.000,00, maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
– | Nilai Perolehan Objek Pajak | Rp 1.000.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak | Rp 60.000.000,00 |
– | Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak | Rp 940.000.000,00 |
– | BPHTB yang seharusnya terutang = 5% x Rp 940.000.000,00 | = Rp 47.000.000,00 |
– | BPHTB yang terutang = 50% x Rp 47.000.000,00 | = Rp 23.500.000,00 |
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4030